Kamis, 06 Januari 2011

Ekonomi publik (Fokus : Pro-poor Budgeting)

Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin
(Fokus : Pro-poor Budgeting)
I. PENDAHULUAN
Perkembangan pengetahuan mengenai kemiskinan – dan untuk alasan tertentu juga karena keberpihakan – telah mencatat bahwa pengertian kemiskinan tidak bisa lagi hanya dipahami sebagai sekedar kondisi ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan material dasar. Pada saat ini dapat dikatakan semua pihak yang berkepentingan dengan persoalan kemiskinan, baik pemerintah, lembaga donor, LSM, dan akademisi telah sepakat bahwa kemiskinan adalah persoalan yang bersifat multidimensi. Di dalamnya antara lain mencakup dimensi rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya jaminan masa depan, kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan, ketidakmampuan menyalurkan aspirasi, dan ketersisihan dalam peranan sosial. Jika dicermati, di balik pelibatan unsur multidimensi dalam pemahaman mengenai kemiskinan sebenarnya terkandung makna adanya perubahan mendasar terhadap filosofi kemiskinan. Perubahannya mengarah pada pemahaman bahwa orang-orang yang dikategorikan miskin adalah juga manusia sewajarnya yang mempunyai aspirasiaspirasi “normal” sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Oleh karena itu, adalah merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak termaafkan jika orang-orang yang dikategorikan miskin ini, derajad kemanusiaannya diredusir menjadi katakanlah setara dengan sekian kilo kalori per hari. Betapapun kondisi sosial ekonominya, hal tersebut tidak dapat merubah kenyataan bahwa mereka adalah juga manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dengan memahami kemiskinan sebagai persoalan yang bersifat multidimensi, maka implikasinya adalah tidak ada satupun cara atau kebijakan tunggal yang dapat menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain pendekatan kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bisa parsial, melainkan harus pula bersifat multidimensi dan komprehensif. Dalam konteks ini, paparan mengenai kebijakan anggaran yang memihak pada orang miskin (pro-poor budget) harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari sekian banyak kebijakan lain yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan. Mengingat regim sentralistik dalam system pemerintahan Indonesia telah beralih menjadi regim desentralistik dan otonom, maka konteks pembahasan pro-poor budget ini akan disesuaikan pula dengan system pemerintahan regim yang baru ini.

II. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sejak Januari 2001, melalui pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan setempat. Dalam kewenangan otonom yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara pro-aktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak  langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekwensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah, yakni menciptakan sistem layanan public yang lebih baik, efektif dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dilihat dari sudut pandang tersebut, pelaksanaan otonomi daerah mempunyai potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan.1 Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam menjalankan “good governance”. Sekarang pemerintah daerah tidak lagi sebagai sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah:
·         DAU diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant, sehingga pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain, kini daerah dapat bertindak lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya (propinsi atau pusat). Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga mencakup variable jumlah penduduk miskin. Ini berarti agenda penanggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah. Salah satu contoh pemerintah daerah yang telah melaksanakan kebijakan demikian adalah Pemerintah Kota Balikpapan. Dengan dana APBD, Pemkot Balikpapan telah melakukan pendataan ulang jumlah penduduk miskin menurut kriteria setempat. Berdasarkan data ini, mulai TA 2002 program penanggulangan kemiskinan seperti pengobatan gratis, pemberian beasiswa, dan sebagainya mulai dilaksanakan.
·         Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kabupaten/kota yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan, dan murah.
·         Daerah yang kaya sumber daya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan milyaran rupiah untuk dana pembangunan desa. Jika dana ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah penduduk miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun.
III. KEBIJAKAN YANG BERPIHAK KEPADA ORANG MISKIN
3.1. Pra-syarat Kebijakan
Seperti dikemukakan sebelumnya, kebijakan anggaran yang memihak kepada orang miskin sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak kebijakan yang diperlukan
untuk menanggulangi kemiskinan secara komprehensif. Mengingat kebijakan propoor budget merupakan kebijakan yang bersifat teknis operasional, maka supaya pemerintah (daerah) mau menerapkan kebijakan demikian diperlukan adanya beberapa pra-syarat kebijakan, antara lain:
1.      Kehendak Politik
·         Adanya komitmen kuat dan tekad keras pihak-pihak yang secara langsung mempunyai kewenangan dan bertanggungjawab dalam penanggulangan kemiskinan;
·         Agenda pembangunan (daerah) menempatkan upaya dan program penanggulangan kemiskinan pada skala prioritas utama;
·         Kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui kelemahan dan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu, dan bertekad untuk memperbaikinya, baik pada waktu sekarang maupun di masa mendatang.
2.      Iklim yang Mendukung
·         Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan sebagai musuh bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui berbagai saluran informasi untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan, dan partisipasi masyarakat.
·         Ada peraturan dan kebijakan daerah (Perda) yang mendukung penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan usaha kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan terhadap hasil-hasil pertanian, dan sebagainya.
3.      Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan pula kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata lain diperlukan adanya tata pemerintahan yang baik (good governance) dari lembaga lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum lainnya. Secara lebih spesifik, hal ini antara lain ditandai dengan adanya keterbukaan, pertanggungjawaban publik, penegakan, hukum, penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, dan koordinasi lintas lembaga dan lintas pelaku yang baik. Turkewitz (2001) melalui studi empirisnya di beberapa negara menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara karakter suatu regim pemerintahan dengan capaian berbagai indikator pembangunan. Kesimpulan dari studi ini antara lain adalah:
a)      Makin efektif suatu pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi;
b)      Makin rendah tingkat korupsi di birokrasi pemerintahan, makin tinggi tingkat melek huruf orang dewasa;
c)      Makin baik kondisi penegakan hukum suatu negara, makin rendah tingkat kematian bayi; dan,
d)      Makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi tingkat pendapatan per kapita.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka jelas bahwa untuk mencapai terciptanya
kebijakan pro-poor budget diperlukan adanya kebijakan awal seperti pro-poor policy (kebijakan umum yang memihak pada orang miskin), pro-poor institutions (adanya institusi-institusi – khususnya institusi pemerintah – yang memihak orang miskin), dan yang lebih penting lagi adalah adanya pro-poor government (pemerintahan yang memihak orang miskin). Tanpa adanya pra-syarat kebijakan seperti ini, sulit mengharapkan pemerintah (daerah) untuk mempunyai kebijakan anggaran yang bersifat pro-poor.
3.2  Kebijakan Publik dan Kemiskinan
Tujuan akhir kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan
masyarakat dari kemiskinan dan mengangkat harkat dan martabat mereka agar menjadi warganegara dengan seluruh hak dan kewajibannya. Untuk itu salah satu strategi mendasar yang patut ditempuh adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi orang miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam proses pembangunan ekonomi. Pemerintah harus menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk penduduk miskin (pro-poor growth). Oleh karenanya kebijakan dan program pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah seharusnya dititik-beratkan pada sektor ekonomi riil yang secara langsung maupun tidak langsung menyentuh kehidupan sebagian besar orang miskin, seperti pertanian, perikanan, usaha kecil menengah, dan sektor informal. Landasan paradigma kebijakan pembangunan yang selama ini lebih banyak menciptakan konglomerasi, perlu dirubah menjadi paradigma kebijakan yang lebih memihak kepada kelompok masyarakat “pinggiran”. Pemberdayaan perekonomian rakyat, pencabutan berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah (daerah) yang mempersempit akses ekonomi masyarakat miskin, penghentian pungutan-pungutan terhadap petani, nelayan, peternak dan sebagainya adalah beberapa contoh kebijakan yang berdampak positif terhadap masyarakat miskin. Ilustrasi empiris mengenai aspek ini disajikan pada




Kotak 1. Selain itu, pemberian prioritas tinggi bagi pembangunan sarana sosial dan fisik yang penting bagi masyarakat miskin seperti jalan desa, irigasi, sekolah, air bersih, sanitasi, pemukiman, puskesmas, merupakan katalisator untuk mengangkat tingkat kesejahteraan mereka. Sekalipun demikian, kebijakan-kebijakan sektoral maupun lintas sektoral seperti ini tentunya menjadi kurang efektif dan efisien jika tidak dilandasi oleh kebijakan makro ekonomi yang mampu menciptakan perekonomian yang stabil, sehingga laju inflasi rendah, dan iklim usaha menjadi semakin kondusif.

Jika paket kebijakan tersebut dilaksanakan, maka peluang bagi terciptanya kondisi pro-poor growth menjadi bertambah besar. Tetapi sayangnya, hingga saat ini pemerintah kurang menerapkan kebijakan yang mampu mendukung terciptanya propoor growth tersebut. Untuk memberikan gambaran yang nyata terhadap persoalan ini, pada Kotak 2 disajikan ilustrasi mengenai dampak penerapan kebijakan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja. Sedangkan pada Kotak 3 disajikan gambaran mengenai kemungkinan dampak dari rencana pemerintah (pusat) untuk menaikkan tarif impor beras terhadap penduduk miskin. Di samping sedang dan akan menerapkan kebijakan yang cenderung anti-orang miskin, pemerintahan sekarang seharusnya berani mengoreksi kebijakan yang sedang berjalan yang dianggap propoor, tapi ternyata bersifat anti-poor. Kebijakan memberikan subsidi minyak tanah untuk konsumsi rumah tangga merupakan contohnya, dan ilustrasi mengenai hal ini disajikan pada Kotak 4.





























3.3. Aspek Teknis Operasional Pro-poor Budgeting.
Dalam wacana yang lebih luas, kebijakan pro-poor budget sebenarnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari prinsip-prinsip penganggaran yang baik. IMF (International Monetary Fund), dan FITRA (Forum Transparansi Anggaran) (2001), mengidentifikasi prinsip-prinsip umum penganggaran yang baik antara lain dicirikan oleh faktor:
A.      Transparan: Beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan antara lain:
a)      Dokumen anggaran dapat dengan mudah diakses oleh publik.
b)      Dibukanya akses/partisipasi aktif publik dalam proses perumusan program dan pengambilan keputusan. Hal ini antara lain diindikasikan oleh:
·         Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi keterlibatan public secara langsung;
·         Adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan masyarakat; dan
·         Prosentase usulan publik yang dijadikan acuan dalam penyusunan dan penetapan nilai anggaran. Hal ini akan tercermin dari nilai keputusannya itu sendiri, seperti seberapa besar penetapan anggaran mengakomodir kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin dan masyarakat berpenghasilan rendah.
c)      Adanya kebijakan yang memberikan tempat/ruang kontrol dan monitoring oleh lembaga independen dan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelembagaan sebagai media “checks and balances”.
d)      Adanya prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan/pengelolaan keuangan (negara dan daerah) yang transparan dan menjamin hak informasi publik.
B.      Rasional: Perhitungan besaran penerimaan dan pengeluaran dilakukan dengan cermat berdasarkan data yang akurat sesuai dengan kondisi aktual ekonomi makro dan mikro. Perhitungan dilakukan dengan metode yang jelas dan terukur, bukan dengan perkiraan-perkiraan dan kepentingan pihak tertentu.
C.      Akuntabel: Adanya tanggungjawab yang tinggi dari pemerintah (daerah) dalam mengelola anggaran sebagai amanat rakyat. Hal ini dicerminkan oleh:
·         Adanya komitmen pemerintah untuk mengelola anggaran secara transparan;
·         Adanya jaminan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan anggaran; dan
·         Adanya prosedur pertanggungjawaban anggaran oleh pemerintah kepada publik yang diatur dalam suatu kebijakan/peraturan (daerah).
D.     Keadilan dan Proporsional: Anggaran dialokasikan secara proporsional pada sektor-sektor tertentu yang sifatnya mendesak dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, sekaligus sebagai kompensasi pemerintah kepada kelompok masyarakat tertentu (miskin) untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang telah menciptakan ketidakadilan ekonomi.
Selain menerapkan prinsip-prinsip tersebut, kebijakan anggaran yang baik harus pula disertai dengan memberikan ruang yang cukup bagi kegiatan yang berkaitan dengan evaluasi pelaksanaan anggaran. Dalam tahapan proses evaluasi anggaran, beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah:
·         Setiap pelaksanaan anggaran dibuat laporannya dan disampaikan kepada lembaga audit dan publik.
·         Adanya audit pelaksanaan anggaran oleh lembaga independen.
·         Hasil audit disampaikan kepada legislatif dan publik.
·         Setiap temuan audit ditindaklanjuti.
·         Adanya keterlibatan masyarakat dalam melakukan kontrol pelaksanaan dan menindaklanjuti hasil audit anggaran.
·         Adanya evaluasi dampak, baik dampak umum yang mencakup aspek ekonomi, politik dan sosial, maupun dampak khusus yang terjadi dalam suatu sektor atau program/proyek tertentu. Hasil evaluasi dampak ini kemudian dijadikan acuan untuk merumuskan anggaran pada siklus (tahun) anggaran berikutnya. Dengan mengacu pada beberapa prinsip anggaran (yang baik) tersebut, maka secara sederhana kebijakan anggaran yang bersifat pro orang miskin dapat diterjemahkan sebagai praktek penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk mengakomodir suara dan kepentingan masyarakat miskin. Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan oleh pemerintah (daerah) dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan anggaran supaya ia dapat dikategorikan sebagai kebijakan anggaran yang bersifat proorang miskin.
3.3.1. Aspek Penyusunan Anggaran
Salah satu elemen strategi yang bisa membuka peluang bagi terciptanya kebijakan propoor budget adalah melalui mekanisme participatory budgeting. Sayangnya, di Indonesia, juga umumnya di negara lain, penentuan keputusan mengenai persoalanpersoalan yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, kemiskinan, dan juga soal anggaran, masih sering dilakukan di belakang pintu tertutup dan hanya melibatkan segelintir elite saja. Kelompok masyarakat lokal dan kelompok masyarakat miskin tidak didorong atau diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Untuk mengaplikasikan participatory budgeting, beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari negara lain diantaranya meliputi:
a)      Perumusan anggaran dilakukan melalui public hearings (dengar pendapat), debat di media massa, dan proses pengambilan keputusan politik dilakukan secara terbuka.
b)      Melakukan analisa anggaran dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok masyarakat miskin, sehingga mereka mempunyai akses terhadap informasi mengenai mata anggaran yang pokok, biaya dan dampaknya terhadap kelompok miskin.
Kedua hal itu perlu dilakukan karena pada dasarnya adalah menjadi hak masyarakat untuk tahu, dan menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi tahu mengenai kebijakan kebijakan yang akan dilaksanakan. Dengan melibatkan mereka secara langsung dalam proses itu, pemerintah daerah dapat mengetahui secara tepat apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh kelompok masyarakat, termasuk oleh kelompok masyarakat miskin. Aspirasi mereka dapat dengan cepat diterjemahkan ke dalam formulasi kebijakan operasional, dan dengan demikian dapat mengurangi distorsi kebijakan. Keterlibatan masyarakat seperti itu tidak harus diartikan sebagai akan meminggirkan peran DPRD maupun jajaran pemerintahan daerah lainnya. Mereka justru merupakan mitra dialog bagi pihak legislatif dan eksekutif untuk bersama-sama memecahkan problem daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan pola pengambilan putusan yang bersifat partisipatif, DPRD dan juga pihak eksekutif justru diuntungkan, karena prinsip-prinsip pemerintahan yang transparan dan akuntabel telah dipraktekkan, dan hal ini pada gilirannya justru akan memperkokoh legitimasi mereka.
3.3.2. Aspek Penerimaan Daerah
Komponen penerimaan daerah yang dapat direkayasa oleh pemerintah daerah dalam
rangka membuat anggaran yang pro orang miskin adalah pendapatan asli daerah (PAD). Mengingat sumber PAD yang bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah pajak dan retribusi daerah, maka pemerintah daerah dapat membuat kebijakan anggaran yang bersifat pro orang miskin antara lain dengan:
a)      Tidak membuat kebijakan pungutan daerah yang secara langsung membebani orang miskin. Misalnya dengan membebaskan mereka dari keharusan membayar pengobatan di Puskesmas, SPP, retribusi KTP, dan sebagainya.
b)      Tidak membuat kebijakan pungutan daerah yang secara tidak langsung membebani orang miskin. Misalnya pajak dan atau retribusi daerah yang dikenakan terhadap hasil produksi pertanian, perikanan, peternakan, industry rumah tangga, industri kecil, yang diproduksi oleh kelompok masyarakat miskin (Lihat contoh dalam Kotak 1). Memang benar pungutan demikian dibebankan kepada pedagang, tetapi karena bagi pedagang pungutan demikian merupakan komponen biaya, maka umumnya beban biaya ini kemudian ditransfer kepada agen ekonomi di hulu. Dengan demikian yang menanggung pajak/retribusi adalah para petani, nelayan, pengrajin yang rata-rata kemampuan ekonominya lemah.
c)      Jika dua pilihan tersebut tidak dapat dilaksanakan, setidaknya pemerintah daerah dapat membuat kebijakan pungutan yang bersifat progressif, yakni mengenakan tariff khusus (lebih murah) terhadap kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin.
3.3.3. Aspek Pembelanjaan Daerah
Langkah berikutnya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk menciptakan anggaran yang bersifat pro orang miskin adalah melalui perekayasaan aspek pembelanjaan daerah. Dalam hal ini ada dua pendekatan yang dapat ditempuh sekaligus, yakni:
1.      Pembelanjaan Sektoral dan Lintas Sektor.
a)      Alokasi pembelanjaan pemerintah daerah (juga pemerintah pusat) yang ditujukan untuk program penanggulangan kemiskinan secara langsung umumnya relatif kecil. Untuk mengatasi hal ini, maka alternatif kebijakan yang tidak kalah pentingnya adalah dengan meningkatkan efektifitas setiap pembelanjaan yang berkaitan dengan orang miskin. Artinya, pembelanjaan di bidang seperti pendidikan dasar, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya, kemanfaatannya harus diupayakan agar benar-benar dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin.
b)      Pembelanjaan pemerintah untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan tidak selalu harus diterjemahkan sebagai sekedar menambah belanja untuk program ini atau program itu. Upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan perubahan dan peningkatan pembelanjaan di banyak sektor. Mengingat ketersediaan dana yang terbatas, hal ini hanya bisa dilakukan jika pembelanjaan yang tidak efisien dan bad targeted” (againts the poor) dikurangi.
c)      Strategi penanggulangan kemiskinan justru akan mengalami kekurangan atau cacat secara mendasar jika hal itu tidak dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pembelanjaan pemerintah secara umum terhadap aspek kemiskinan.
d)      Analisa mengenai penerima proporsi manfaat dari belanja publik dapat dibedakan menurut kelompok penghasilan. Untuk membuat analisa demikian, metode umum yang biasa dipakai adalah dengan mengelompokkan masyarakat ke dalam 5 (quintiles) atau sepuluh (deciles) kelompok (dikelompokkan dari yang paling miskin sampai paling kaya). Berdasarkan pengelompokkan ini, dapat dilihat proporsi manfaat yang diterima oleh masing-masing kelompok. Dengan metode ini kemudian dapat disimpulkan apakah kebijakan belanja publik bersangkutan bersifat:
1)      Pro orang miskin (progressive);
2)      Netral;
3)      Lemah (terhadap orang miskin); dan
4)      Pro orang kaya (regressive).
Dengan menggunakan data gabungan APBD Kabupaten/Kota TA 1999/2000 (288 kabupaten/kota), SUSENAS dan Podes 2000, Jasmina, et al. (2001) menganalisis alokasi belanja pembangunan di masing-masing kabupaten/kota tersebut, apakah bersifat pro orang miskin, netral atau pro orang kaya.5 Sektor pembangunan yang dijadikan indikator adalah Sektor Pertanian dan Kehutanan, Transportasi, Pendidikan, Kesehatan dan Sektor Perumahan dan Pemukiman. Secara singkat hasil studi ini menunjukkan:
1.      Dari lima sektor yang dianalisa, rata-rata pengeluaran di sektor pertanian, pendidikan dan perumahan lebih banyak dinikmati oleh kelompok 20% masyarakat termiskin, dan hanya 14% yang dinikmati oleh kelompok 20% masyarakat terkaya. Untuk sektor transportasi dan kesehatan manfaat yang dinikmati oleh 20% kelompok masyarakat termiskin relatif sama dengan yang dinikmati oleh 20% kelompok masyarakat terkaya (Tabel 2). Tetapi jika digunakan variabel binary, secara rata-rata prosentase penerima manfaat untuk sector transportasi dan sector kesehatan relatif lebih kecil untuk kelompok masyarakat miskin dibandingkan dengan kelompok masyarakat kaya. Dengan kata lain, pengeluaran untuk sector transportasi dan kesehatan cenderung bersifat regressif sampai dengan netral. Sementara itu untuk sektor pertanian, pendidikan dan perumahan lebih bersifat progresif (memihak orang miskin).
2.      Analisis keseluruhan dengan menggabungkan hasil perhitungan proporsi pengeluaran pembangunan sektoral dengan hasil incidence analysis untuk kelima sektor memperlihatkan bahwa dari 268 kabupaten/kota, hanya 93 kabupaten/kota (35%) yang telah menerapkan kebijakan pembelanjaan yang bersifat pro orang miskin. Dengan demikian kebijakan anggaran yang diterapkan oleh sebagian besar pemerintah kabupaten/kota belum memihak pada orang miskin. Kotak 5 memberikan contoh lain kebijakan alokasi anggaran yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI (TA 2001).
3.      Selain analisis kuantitatif, studi tersebut juga melakukan analisis kualitatif. Indikator yang digunakan antara lain berupa ada/tidaknya program pemerintah daerah untuk penanggulangan kemiskinan, aspek partisipatif masyarakat dalam penyusunan anggaran, proses dan pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan yang sedang/telah dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dari 40 kabupaten/kota yang dianalisa, 18 kabupaten/kota dapat dikatakan sebagai telah menerapkan kebijakan yang bersifat pro orang miskin. Sisanya, 22 kabupaten/kota belum menerapkan kebijakan yang bersifat pro orang miskin.





2.      Pembelanjaan untuk program penanggulangan kemiskinan
a)      Di era otonomi sekarang, meskipun penyeragaman mata anggaran masih berlaku, daerah sebenarnya mempunyai kewenangan penuh untuk membelanjakan dananya sesuai dengan kepentingannya. Jika dikehendaki, daerah dapat membuat mata anggaran khusus yang diperuntukkan bagi program penanggulangan kemiskinan.
b)      Meningkatkan pembelanjaan yang bersifat program langsung penanggulangan kemiskinan disertai dengan prinsip dan praktek pembelanjaan yang lebih baik.
c)      Secara praktis, pendekatan untuk mencapai target program penanggulangan kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu target secara luas (broad targeting) dan target secara sempit (narrow targeting). Pendekatan pertama ini tidak mentargetkan orang miskin secara langsung sebagai individu-individu. Program yang ada lebih diarahkan pada penyediaan pelayanan yang dibutuhkan orang miskin. Dalam hal ini Pemda dapat mengalokasikan anggaran untuk menyediakan pelayanan sosial yang mendasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi. Pendekatan ke dua langsung ditujukan kepada individu, keluarga atau kelompok yang secara tegas dinyatakan sebagai orang miskin. Di antara dua pendekatan ini, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu kombinasi dari kedua pendekatan ini merupakan alternatif terbaik. Kotak 6 memberikan ilustrasi dua jenis pendekatan tersebut.










PENUTUP

Kemiskinan merupakan salah satu tragedi terbesar kemanusiaan, dan sampai sekarang tragedi ini belum bisa ditanggulangi secara tuntas, bahkan di beberapa kawasan justru menunjukkan gejala yang makin parah. Oleh karena itu upaya memerangi kemiskinan merupakan tugas mulia kemanusiaan. Selain karena alasan kemanusiaan dan moral, memerangi kemiskinan merupakan upaya yang sangat rasional ditinjau dari banyak kepentingan. Antara lain hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (melalui peningkatan produktivitas), demokratisasi, mengurangi konflik dalam masyarakat, dan sebagainya.
Filosofi dan definisi kemiskinan yang makin luas cakupannya mengharuskan strategi kebijakan penanggulangannya bersifat multidisiplin, lintas sektoral dan terus berkelanjutan. Pro-poor budget memang sangat diperlukan, tetapi kebijakan ini saja tentu tidak cukup. Mengingat APBN dan APBD lebih merupakan instrument kebijakan pemerintahan, maka persoalannya justru terletak dan tergantung pada bentuk regim pemerintah itu sendiri.
Jika regim pemerintahan yang ada mempunyai karakter memihak pada orang miskin, maka berbagai kebijakan publik, institusi, birokrasi, dan penganggaran yang diterapkan akan dengan sendirinya bercirikan keberpihakan kepada orang miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar