Kamis, 06 Januari 2011

Redenominasi

Redenominasi
1.      Pengertian
Redenominasi adalah pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat mempengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".
2.      sejarah
Empat puluh lima tahun lalu, karena nilai tukar rupiah tidak tertolong lagi, pemerintah terpaksa mengeluarkan kebijakan yang disebut sanering rupiah, yakni memotong tiga angka nol terakhir dari rupiah.
Kebijakan ini dituangkan dalam Penetapan Presiden atau Penpres No. 27/1965 yang menjadikan Rp 1.000 (uang lama) sama dengan Rpl (uang baru). Saat itu, nilai uang dipotong sedangkan harga-harga tetap.
Kebijakan ini menyisakan luka sejarah, sama dalamnya dengan ontran-ontran politik yang melahirkan apa yang disebut rezim Orde Baru sebagai Pemberontakan G30S/PKI.
Bila redenominasi jadi diterapkan, kejadian berbeda. Ini karena pada saat yang sama harga-harga barang menyesuaikan dengan pecahan baru. Bila semula RplOO.000, akan jadi RplOO. Un-tuk mencegah kekacauan harga, BI berniat melibatkan Kementerian Perdagangan agar mengeluarkan regulasi dua label harga.
Namun, entah kebetulan atau tidak, ilustrasi sanering dan redenominasi sama persis-pecahan Rpl.000 jadi Rpl-meskipun kita tahu situasi ekonomi politik dulu dan sekarang sama sekali berbeda. Saat ini, inflasi terkendali dan perekonomian tumbuh.
Sebaliknya, 45 tahun silam adalah puncak keterpurukan ekonomi Indonesia karena nilai rupiah terdepresiasi 650% sejak 1960. Situasi ini justru mirip dengan krisis moneter 1998 saat isu sanering muncul, tetapi tak terbukti.
Bila sedikit melongok ke praktik di negara-negara lain redenominasi sebetulnya banyak terjadi. Sebabnya bisa macam-macam, tetapi mayoritas karena faktor inflasi, di mana nilai mata uang terus turun.
Beberapa kasus di Eropa, redo-minasi terjadi karena kebijakan satu mata uang euro di benua biru tersebut. Slovakia adalah negara terakhir yang melakukannya tahun lalu, setelah Malta (2008) dan Slovenia (2006).
Dari Afrika, redenominasi-lebih identik dengan sanering-me-. nimpa Zimbabwe pada 2006, 2008, dan berlanjut pada 2009. Hiperinflasi membuat pemerintah setempat mengganti pecahan 1 triliun dolar Zimbabwe jadi 1 dolar.
Ada juga redenominasi untuk sekedar ganti nama dengan nilai yang sama. Brasil, pada 1990 mengganti mata uang cruzadonovo menjadi cruzerio. Dua tahun kemudian, Ukraina menggeser soviet ruble menjadi karbovanets.
Pertanyaannya sekarang, seberapa besar urgensi dari rencana redenominasi ini bagi sistem nilai tukar rupiah? Apakah wacana ini telah memperhitungkan dampak psikologis pasar, terutama mengorek kembali luka lama sanering.
Dalam versi BI, ada tiga alasan sehingga redenominasi layak dilakukan. Pertama, karena pecahan uang Indonesi terlalu besar.
Kedua, redenominasi dapat digunakan untuk mempersiapkan . kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Ketiga, nilai nominal uang yang terlalu besar mencerminkan suatu negara mengalami inflasi tinggi pada masa lalu atau kondisi fundamental ekonomi jelek.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara menganggap redenominasi belum perlu dilakukan karena tidak mengubah fundamental ekonomi nasional. Dia mengingatkan bahwa bank sentral lebih baik fokus kepada upaya menurunkan inflasi.
3.      Perbedaan redenominasi dan pemotongan mata uang
Redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah. Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama, sedangkan pada sanering menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis. Selain itu redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional, sementara sanering bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
Pada redenominasi nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan, sedangkan pada sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Redenominasi juga biasanya dilakukan saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali, sedangkan sanering dilakukan dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, sementara sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba.
4.      Redenominasi Rupiah
Redenominasi Rupiah adalah sebuah rencana kebijakan Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter di Indonesia, dalam rangka pengurangan nilai pecahan mata uang Rupiah tanpa mengurangi nilainya dengan cara menghilangkan tiga atau empat angka nol terakhir. Rencana kebijakan ini dilontarkan oleh Bank Indonesia pada awal Mei 2010 dan dikonfirmasikan oleh Gubernur BI terpilih, Darmin Nasution, pada 31 Juli 2010. Kebijakan redenominasi ini diambil setelah hasil riset Bank Dunia menyebutkan bahwa uang pecahan Rupiah Indonesia Rp 100.000 adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Dong Vietnam (VND) 500.000.
Seperti yang di kutipan dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (Darmin Nasution), mencoba menenangkan kepanikan sekaligus keingintahuan publik atas wacana redenominasi rupiah. Redenominasi Mata uang Rupiah ini masih dalam tahap wacana, belum keputusan yang sudah resmi. Dikaji dalam waca redenominasi mata uang rupiah adalah Rp1.000 diganti Rp1. Dikutip dari Dalam Wikipedia redenominasi dan sanering hampir sama, pemotongan nilai mata uang adalah redenominasi dan hanya dibedakan oleh sebabnya.
Para pakar keuangan menyatakan proses pelaksanaan Redenominasi baik dilakukan pada situasi dimana kondisi perekonomian sebuah negara sedang dalam keadaan membaik yang ditunjukkan oleh stabilitas inflasi dalam jangka waktu tertentu. Saat saat seperti inilah merupakan saat yang tepat untuk proses kegiatan redenominasi. Lalu apakah perlu Redenominasi Mata Uang Rupiah?
"Sanering selalu dilakukan suatu negara dalam situasi ekonomi tak stabil, inflasi yang tinggi, karena tingginya inflasi maka daya beli mata uang merosot dengan cepat. Sama sekali bertolak belakang de-ngan redenominasi, bisa dilakukan kalau perkenomian sedang stabil, artinya perekonomian tumbuh," tuturnya.
Lalu Apa perbedaan Sanering dengan Redenominasi mata uang? Berikut kutipan dari situs tempo.
a)      Pengertian. Redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misal Rp 1.000 menjadi Rp 1. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah. Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
b)      Dampak bagi masyarakat. Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama. Pada sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
c)      Tujuan Redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi. Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional.
Sanering bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
d)      Nilai uang terhadap barang. Pada redenominasi nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan. Pada sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya.
e)      Kondisi saat dilakukan. Redenominasi dilakukans saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali. Sanering dilakukan dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
f)       Masa transisi Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba.
g)      Contoh untuk harga 1 liter bensin seharga Rp 4.500 per liter.
Pada redenominasi, bila terjadi redenominasi tiga digit (tiga angka nol), maka dengan uang sebanyak Rp 4,5 tetap dapat membeli 1 liter bensin. Karena harga 1 liter bensin juga dinyatakan dalam satuan pecahan yang sama (baru).
Pada sanering, bila terjadi sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter bensin.

5.      Sesat Istilah Redenominasi
Ilmu ekonomi kerap terjebak dalam berbagai kesesatan gejala dan hiruk pikuk peristiwa. Banyak istilah tekhnis ekonomi yang kerap dilontarkan ke publik kemudian mendapat reaksi beragam, karena pemahaman dan persepsi yang juga beragam. Mulai dari istilah Neoliberalisme, Keynesianisme, Globalisasi, hingga pasar bebas, tak lepas dari perbedaan pendapat. Pandangan tentang istilah-istilah tersebut tak pernah seragam. Pun demikian saat istilah Redenominasi Rupiah merebak ke publik beberapa hari lalu.
Sebagaimana istilah ekonomi lainnya, Redenominasi bisa menjadi istilah licin yang dapat mengecoh pendengarnya. Licin, karena penerapan redenominasi di banyak negara juga kerap tak mulus dan membutuhkan proses panjang. Ada negara yang berhasil menerapkannya, namun ada juga negara yang masih berkutat dengan masalah ekonominya, meski redenominasi mata uang diterapkan. Turki menjadi negara yang berhasil melakukan redenominasi mata uangnya, dengan memperkenalkan New Turkish Lira. Namun di sisi lain, Korea Utara menjadi contoh negara yang masih mengalami masalah dengan redenominasi mata uang Won-nya, yang dilakukan pada Desember 2009 lalu. Pasar gelap bermunculan, dan masyarakat melarikan uangnya ke Yuan ataupun Dolar Amerika karena panik.
Oleh karenanya, penyebutan istilah Redenominasi perlu dilakukan secara berhati-hati agar tidak menimbulkan gejolak dan keresahan. Langkah Bank Indonesia yang secara sigap menanggapi isu tersebut dengan membuat banyak penjelasan di berbagai media, tentu patut kita hargai. Keresahan di publik perlu ditenangkan agar tidak menimbulkan biaya yang besar pada ekonomi kita yang sedang membaik ini.
Istilah redenominasi sebenarnya bukan sebuah hal asing dalam perekonomian. Denominasi mata uang berarti penyebutan satuan harga untuk mata uang suatu negara, baik dalam satuan koin ataupun kertas. Denominasi itu misalkan kita menyebut mata uang dengan besaran Rp. 1000, Rp.100.000, dan seterusnya. Di sisi lain, istilah Redenominasi berarti penyebutan kembali, atau penyederhanaan dari satuan harga maupun nilai mata uang yang ada. Satuan Rp.1000 disederhanakan menjadi Rp. 1 misalnya. Hal ini berlaku menyeluruh ke harga-harga barang dan jasa yang ada di negara tersebut. Sepotong roti yang tadinya seharga Rp1000, juga disederhanakan menjadi Rp 1. Dalam hal ini, tidak ada yang dirugikan dari sistem redenominasi. Tujuannya adalah juga sebagai efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.
Sebagaimana di jelaskan di berbagai media, redenominasi ini bukan sanering. Istilah terakhir ini adalah pemotongan uang. Bila Sanering, maka nilai uang dipotong, namun harga-harga barang tetap. Sanering menyebabkan daya beli masyarakat terpangkas. Misalnya gaji kita besarnya Rp 5.000.000, terkena sanering menjadi Rp.5. Sementara harga sepotong roti tetap Rp. 1.000. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli roti lagi. Biasanya, sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.
Proses redenominasi tentu harus dilakukan bertahap dan dengan perhitungan yang ketat. Namun, tentu permasalahan tidak sesederhana kelihatannya. Sebelum melakukan redenominasi, ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi. Pertama, inflasi harus berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil. Kedua, stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan stabilitas harga. Ketiga, kesiapan masyarakat harus ada. Aspek ketiga inilah yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Kesiapan psikologis masyarakat adalah hal terpenting bagi efektifnya suatu kebijakan. Banyak sudah kebijakan publik yang baik secara teori, namun gagal di lapangan karena kesiapan publik yang belum ada.
Akibatnya akan muncul salah kaprah di masyarakat yang mengganggu gerak perekonomian kita. Isu Redenominasi Rupiah memang harus dihindarkan dari simpang siur gejala. Keresahan dapat menyebabkan psikologi pasar terganggu dan berdampak pada perekonomian kita.
Kita juga perlu memahami bahwa isu redenominasi ini baru sebatas studi di Bank Indonesia. Artinya, penerapannya masih membutuhkan waktu dan pemikiran yang lebih dalam lagi, khususnya mengenai baik buruknya dan kesiapan masyarakat. Mudah-mudahan kita semua dapat terhindar dari sesat gejala dalam istilah-istilah yang ada.
6.      Penyelarasan rupiah, trauma sanering
OLEH HERY TRIANTO Wartawan Bisnis Indonesiaedenominasi bukan pemotongan nilai mata uang, seperti sanering atau pengguntingan. Sebenar-nya penyederhanaan sebutan satuan harga maupun nilai mata uang."
Ini adalah kutipan pernyataan Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution, mencoba menenangkan hiruk-pikuk reaksi publik atas wacana redenominasi rupiah yang terjadi pada beberapa hari terakhir. Bagi awam, membedakan istilah redenominasi bukanlah hal mudah. Ini karena secara substansi hampir serupa, nilai uang sama-sama berkurang. Dalam ilustrasi BI, mata uangrupiah akan kehilangan 3 nol, seperti pecahan Rp 1.000 diganti Rpl.
Itulah mengapa Darmin secara panjang lebar berusaha menjelaskan perbedaan dua istilah redenominasi dan sane-ring-yang dalam situs Wi-ki-pedia relatif sama. Dalam kategori Wikipedia pemotongan nil-, ai mata uang adalah redenominasi dan hanya dibedakan oleh sebabnya.
Dalam istilah Darmin redenominasi justru bisa dilakukan saat kondisi ekonomi membaik yang ditunjukkan oleh stabilitas inflasi dalam jangka waktu tertentu. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan sanering.
"Sane-ring selalu dilakukansuatu negara dalam situasi ekonomi tak stabil, inflasi yang tinggi, karena tingginya inflasi maka daya beli mata uang merosot dengan cepat. Sama sekali, bertolak belakang dengan redenominasi, bisa dilakukan kalau perkenomian sedang stabil, artinya perekonomian tumbuh," tuturnya.
Toh, upaya eksekutif puncak bank sentral yang baru dipilih parlemen pekan lalu itu tak meredam kecemasan masyarakat yang tiap hari berkutat dengan pecahan-pecahan rupiah.
Pasar modal pun kemarin juga gundah dan secara psikologis terpengaruh hingga indeks harga saham gabungan jatuh 2,78% ke 2.973,66.
Uniknya Senin, sehari sebelum BI menggelar jumpa pers menjelang makan siang, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menepis ada rencana redenominasi ini. Malah dia menyebutnya sebagai "suatu hal yang tidak mungkin".
Baru setelah Darmin bicara, tampak titik terang, redenominasi masih kajian internal Bank Indonesia. Jalan untuk implementasi juga terbilang masih jauh karena baru akan berlaku penuh pada 2020, itu pun bila proses politik lancar karena butuh sebuah undang-undang untuk kebijakan ini.
Lalu, meluncurlah peta jalan re-demoninasi ini secara lebih detail. Menurut rencana, sosialisasi mulai tahun depan, dan 2013-2015 adalah jadwal penerapan secara simultan mata uang lama dan baru. Penarikan pecahan uang sekarang baru dilakukan pada 2016-2017.
Adapun tahun ini, BI akan menyelesaikan draf untuk diajukan , ke Presiden, sebelum diusulkan pemerintah kepada parlemen agar dibahas menjadi undang-undang. Dari proses inipun, menilik pernyataan Menkeu sebagai representasi pemerintah dalam bidang keuangan, belum tentu mudah.
Upaya bank sentral memberikan penjelasan ini temyata tidak cukup ampuh menenangkan kegundahan yang muncul melalui pendapat ekonom, para analis, hinggarakyat biasa. Ini pula yang memaksa Wakil Presiden Boediono memanggil Menkeu dan Gubernur BI, kemarin sore.
Bahkan, Boediono melakukan jumpa pers mendadak untuk menjelaskan hasil pertemuan. Menurut dia, pemerintah masih menganggap rencana redenominasi merupakan sebuah studi bank sentral terhadap sistem keuangan di Indonesia. "Ini statusnya studi. Studinya akan berlanjut dan belum selesai. Kita tidak tahu kapan hasil studiitu menjadi policy," ujarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar